Bentuk Kebersamaan Kolektif dalam Peristiwa dan Hukum



Bentuk Kebersamaan Kolektif dalam Peristiwa dan Hukum
Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy tidak mengenal ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri.
Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari samping luar bangunan. Ruangan Inti
Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau siku.
Menurut Andry Christian, hal itu tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya.
Mereka tidak memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.
Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala keluarga.
Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120 meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh komponennya.
Di Desa Cibeo terdapat 80 rumah tinggal dengan 100 kepala keluarga. Saat pelaksanaan program, seluruh warga turun bergotong royong, bahu-membahu membantu tanpa pamrih. Mereka menyumbangkan bahan bangunan, komponen rumah, atau tenaganya. Hal itu merupakan bentuk kebersamaan kolektif yang masih kuat dan dipelihara di kalangan suku Baduy Dalam hingga kini.
Rumah bagi masyarakat Baduy dalam (kejeroan), di Banten, Jawa Barat. Tidak sekedar tempat tinggal. Ada nilai Filosofi yang di yakini sebagai kepercayaan nenek moyang mereka. Itu sebabnya membangun rumah tidak boleh sembarangan.
Kawasan Baduy Dalam seperti daerah Kenekes, diyakini sebagai pusat alam semesta. Karena itu, tanah di sana pantang di olah dengan cangkul. Malah, jika tanah yang digunakan untuk membangun rumah tidak rata, mereka tidak mau meratakannya. Rumah tetap didirikan disitu. Caranya tiang-tiang rumah disesuiakan dengan kondosi tanah. Hasilna tentu tiang- tiang yang tidak sama tinggi.
Diberdayakan oleh Blogger.